BB, Doa dan Tingkat Kenormalan

Angin berhembus sepoi sepoi di halte menerpa wajah lusuh dua orang penunggu angkutan umum. Yang satu laki-laki dan yang satunya lagi perempuan, cantik.

Keduanya sedang duduk sembari memainkan jari-jarinya pada sebuah gadget yang sedang naik daun. Lincah. Sesekali si laki-laki melirik ke sebelah kanannya, tidak dipungkiri memang meskipun lusuh wajah perempuan itu sangat menarik sehingga membuat si laki-laki berinisiatif untuk mengajaknya berkenalan. Dan pada akhirnya,

“Ada BB* kan? Bagi pinnya dong”

***

Entah sejak kapan mulai menjamur pertanyaan-pertanyaan macam itu saat ini. Aku sendiri sering mendapatkan pertanyaan semacam itu namun faktanya I’m not a BB user.  Tetapi banyak sekali yang menyayangkan fakta itu. Seorang temanku baru saja diterima kerja di kota besar dan dari seluruh kenalan barunya di sana tidak ada satupun yang menanyakan nomor telepon seluler, yang ada justru meminta nomor pin. Sebuah keadaan yang memaksanya untuk membeli gadget yang katanya canggih dan katanya juga keren.

“Rin!” seseorang menepuk bahuku dan membuyarkan lamunanku.

“Eh,iya Sa. Kenapa?” sahutku. Sasa, seseorang yang baru aku kenal selama lima hari ini, kami sama-sama peserta sebuah seminar ilmiah yang bertempat di salah tempat di kota Bandung. Aku mengenalnya karena beberapa kali sesi dia duduk dekat denganku, dan kebetulan kami berlatarbelakang jurusan yang sama hanya saja tingkatannya setahun di atasku walaupun umur kami sebaya. Sewaktu SMA dia salah satu korban program kelas akselerasi.

“Ngelamunin apa lo?”

“Ada deh, mau tau aja!”

“Hahahaha, abisnya serius banget sih lo! Eh makan siang tadi nggak gitu enak ya,padahal empat hari kemaren gak gitu ”

“Oh, iya? Masa sih, menurut gue enak-enak aja lagian laper juga apa aja berasa enak!”

“Rinta,Rinta…rasa yang lo tau tuh emang cuma enak sama enak banget!”

Ternyata Sasa cukup cepat mempelajariku, baru kenal selama lima hari dia sudah mengerti kebiasaanku yang selalu merasakan semua makanan enak. Maklum pecinta kuliner, jadi sebagian besar makanan yang ada di kamusku kalau tidak ‘enak’ berarti ‘sangat enak’ suatu hal yang jarang ditemui aku menyebut makanan ‘tidak enak’.

“Eh, gue mau nanya nih”

“Apaan?”

Lo kan pake BB, sebenernya apa yang bikin lo make BB? selain buat alat komunikasi ya”

“Apa ya Rin, gue pake BB dua bulan ini sih, abisnya kalo ngga pake bisa-bisa ketinggalan info. Gue ngga dapet jarkoman tugas kalo ngga pake BB. Sms diganti jadi BBM, ya gimana lagi.”

“….”

Aku terhening sesaat, aku bersyukur teman-teman kuliahku tidak se ekstrem itu. Untuk masalah tugas ataupun informasi yang bersifat publik yang berkaitan dengan akademik, masih diumumkan di grup facebook. Memang terkadang untuk informasi spesial misalnya gossip dan perbincangan aku memang kurang begitu tahu karena mereka membahasnya di BBM. Tetapi apa gunanya informasi gossip dan hal yang tidak penting, itulah mengapa aku berpikir belum membutuhkannya. Banyak sekali cerita mengapa orang banyak yang berpindah haluan ke BB dari mulai yang terpaksa hingga yang memaksa dirinya sendiri karena tuntutan jaman. Contoh kasus yang terpaksa ya seperti kisah Sasa tadi, ada juga yang diwajibkan oleh perusahaan demi kepentingan bisnis, padahal sebelumnya termasuk individu yang anti BB. Produsen BB memang mendapatkan untung besar dari negara kita. Pengguna BB di Indonesia sejauh ini telah mencapai lebih 3 juta dan merupakan negara dengan jumlah pengguna terbesar di kawasan Asia1. Itu artinya Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat konsumerisme yang tinggi sehingga menjadi target pasar yang empuk untuk berjualan gadget. Bahkan Menkominfo Indonesia sudah mewanti-wanti produsen gadget BB untuk membuat data center di Nusantara tahun mendatang. Wow, luar biasa! Terbesar di Asia lho! Gadget BB seakan sudah menjadi lifestyle dan terkesan lebih gaul jika memilikinya2. Anak yang masih SD juga tidak sedikit yang menjadi penggunanya. Anak sekolah dasar yang notabene umurnya belum juga genap limabelas, yang wajarnya seusia itu masih asyik bermain dan menikmati masa kanak-kanak dan kehidupan awal remaja. Lalu fungsinya apa? Fungsi apa gengsi ya?

Untungnya aku tidak punya BB. Bukan alibi untuk pembelaan walaupun memang aku pun tidak ada uang untuk membelinya. Tetapi terlepas dari itu semua, fenomena BB yang kalau menurutku cukup dahsyat ini sangat kuat daya tariknya, bagaikan magnet yang berbeda kutub dengan masyarakat. Orang-orang lebih sering menghabiskan waktu untuk BBM (salah satu fasilitas yang dimiliki BB) an daripada bersosialisasi secara langsung layaknya orang normal, bahkan menurutku orang tidak punya BB sering dianggap kurang normal untuk jaman sekarang. Salah satu temanku yang bernasib sama denganku (orang-orang minoritas yang tidak/belum tertarik oleh magnet BB, mungkin karena kutub kami masih sama dengan kutub magnet fenomena BB) bahkan dianggap aneh oleh teman-teman bermainnya sewaktu sekolah dulu karena tidak punya BB sedangkan dia memiliki keluarga yang notabene kalangan menengah ke atas jadi kalau hanya sekedar membeli BB pastilah mampu.

“Kok lo gak punya BB sih? Kenapa?” kata temanku, dia sering sekali dilempari pertanyaan seperti itu.

‘Kenapa gak beli BB. Kenapa.Kenapa.’

Justru yang ingin aku tanyakan, kenapa harus BB? Karena fiturnya canggih dan bisa memfasilitasi semua aktivitas. Oke, itu bagi yang membutuhkan. Bagi yang belum merasa membutuhkan apakah harus ada alasan untuk tidak mengikuti mainstream BB?

Aku sering mendapati pemandangan yang menurutku kurang normal, ada sekelompok orang yang berkumpul, ya semacam kongkow-kongkow (kalau bahasa anak muda). Namun hanya sedikit pembicaraan di antara mereka dan masing-masing orangnya sibuk dengan senam jari dengan gadgetnya, tidak hanya BB memang, tetapi yang paling ngetren dan fenomenal ya itu. Aku membayangkan jika nantinya diriku telah berubah kutub dan dapat ditarik oleh magnet fenomena BB. Doaku kepada Allah, semoga aku tidak berubah menjadi manusia yang menurutku kurang normal seperti orang-orang itu, jadi orang sosial yang tidak bermakna sosial, bergaul namun kurang memaknai pergaulan. Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Tidak habis pikir kalau aku nanti jadi pengguna gadget itu, tanpa BB saja shalat masih ogah-ogahan dengar adzan tidak langsung bergegas. Membaca Al-Qur’an saja masih dikalahkan dengan yang lain. Apalagi nanti kalau punya BB, bisa bisa suara adzan kalah keren dengan suara dering BBM. Astaghfirullah…

Jadi sebenarnya yang normal itu yang mana ya? Karena tren dapat membiaskan yang normal dan yang tidak normal.

Tiba-tiba terasa ada yang mengguncang bahuku.

“Rin…Rin…Woy!!Ngelamun lagi kan lo? Udah mau mulai sesinya nih,masuk buruan!”

Berlatih menulis inspired by Seno Gumira Ajidarma

*)BB adalah sebuah gadget fenomenal yang rata-rata berbentuk bujur sangkar, ukurannya cukup tebal dan pasti orang-orang suka sekali senam jari menggunakan gadget ini [asumsi sendiri].  Perangkat selular yang memiliki kemampuan layanan push e-mail, telepon, sms, menjelajah internet, messenger (Blackberry Messenger/BBM), dan berbagai kemampuan nirkabel lainnya. Penggunaan gadget canggih ini begitu fenomenal belakangan ini, sampai menjadi suatu kebutuhan untuk fashion3.

1)  Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2011/12/13/090371485/RIM-Wajib-Bangun-Pusat-Data-Tahun-Depan

2) Sumber : http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2011/07/13/sindrom-pengguna-blackberry-di-indonesia/

3) Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/BlackBerry

About dikabeast

A complex mind in modest personality
This entry was posted in Fiction. Bookmark the permalink.

2 Responses to BB, Doa dan Tingkat Kenormalan

  1. zulfah says:

    Seno Gumira Ajidarma… pengarang buku yg kemarin itu bukan 🙂 bgs dika……… ngebacanya jd mengalir.. 😉

    Like

Leave a comment